Cerita PSK Indonesia Yang Dipaksa Go Internasional

Terbunuhnya dua warga negara Indonesia (WNI) di Hong Kong pekan lalu mengejutkan publik Tanah Air.Seneng Mujiasih (30 tahun) asal Muna, Sulawesi Tenggara dan Sumarti Ningsih (25 tahun), asal Cilacap, Jawa Tengah harus meregang nyawa secara tragis ribuan kilometer dari kampung halaman.

Informasi beredar, mereka diduga wanita penghibur yang nahas dibantai sang pria hidung belang bernama Rurik Jutting, warga negara Inggris. Dokumen resmi menyatakan keduanya bekerja di salah satu diskotek distrik Wan Chai.

Tersangka sampai sekarang mengaku tidak gila tapi tetap menolak menjelaskan pada polisi apa alasannya membantai dua WNI itu. Bahkan satu korban sempat dia mutilasi lalu potongan jasadnya diletakkan dalam koper.

Beberapa pembaca merdeka.com di kolom komentar mengecam kedua mendiang akibat rumor mereka berprofesi sebagai pekerja seks komersial (PSK). Pamit meringankan beban keluarga di negeri orang sebagai buruh migran, kenapa ujung-ujungnya cari duit dari jalan tidak halal?

Apakah ini menggambarkan sebagian buruh migran WNI menginginkan uang cepat alih-alih bekerja keras?

Hasil penelusuran merdeka.com bertolak belakang dari asumsi-asumsi tersebut. Ribuan buruh migran asal Tanah Air yang terlibat kasus prostitusi, kalaupun memang terbukti, mayoritas akibat pemaksaan.

Fenomena itu dipicu struktur jahat yang secara sistematis memaksa mereka menempuh laku nista tersebut. Dari pelbagai sumber, PSK Indonesia sejak lama tercatat terseret bekerja di industri esek-esek skala global.

Lokasinya tersebar, ada yang yang menjual tubuh di Malaysia, Taiwan, Hong Kong, hingga Arab Saudi. Termasuk di dalamnya adalah WNI yang berkecimpung dalam industri pornografi internasional, serta situs-situs jasa seks sesama jenis.

Merdeka.com menemukan sebagian mata rantai sistematis yang rutin menjerat para WNI hingga akhirnya jual diri. Kendati harus diakui, penyebabnya cukup kompleks dan sulit diurai bahkan oleh pemerintah sekalipun.

Semua ini adalah jalinan dari ulah PJTKI nakal, diperparah ketidaktahuan TKI tentang aturan imigrasi, ditambah pengaruh buruk lingkungan pada para buruh migran itu, dan pelbagai alasan lain.

Cerita ini terus berulang, menjurus klise. Terutama bagi para buruh migran "overstayer". Mereka adalah para WNI yang bertahan secara ilegal di satu negara lantaran visanya habis dan biasanya mengambil risiko bekerja sebagai PSK.

Jenis buruh migran lainnya yang berakhir menjadi PSK di negara asing adalah korban perdagangan manusia (human trafficking) oleh sindikat kejahatan lintas negara. Pada 1997, data University of Rhode Island Amerika Serikat sudah mencatat kasus ratusan perempuan asal Indonesia di bawah 20 tahun dipaksa menjadi pelacur di Saudi. Mereka menjadi korban bahkan sebelum berangkat mengadu nasib.

Beberapa bulan lalu, penelusuran merdeka.com lewat rubrik Khas masih menemui fenomena serupa di Mekkah dan Madinah. Artinya, tak ada perubahan signifikan selama dua dekade. Bangsa Indonesia belum naik kelas mengatasi persoalan yang rutin menjerat para buruh migran, khususnya kaum perempuan.

Atas dasar itu, hari ini, Sabtu (8/11), kami sengaja mengangkat berita berseri tentang sistem jahat yang kerap menjerat para buruh migran. Tim reporter mengurai pelbagai cerita WNI yang terpaksa bekerja sebagai PSK di negeri orang.

Prostitusi hanyalah satu dari sekian jenis persoalan yang menjerat 11 ribu TKI bermasalah, merujuk data Kementerian Luar Negeri hingga 30 September 2014.

Pemerintah sepatutnya bergerak lebih tangkas. Sebab TKI rentan terjerumus jaringan industri prostitusi global, jumlahnya tak main-main. Data BNP2TKI ada 147.095 buruh migran informal asal Indonesia berangkat ke seluruh dunia sepanjang tahun ini.

Dari jumlah itu, 56 persen adalah perempuan. Bila ditambah para TKI formal, ada 6.610 orang yang mengalami persoalan masa tinggal. Andaikan saja separuh overstayer adalah wanita, berapa berpotensi terjebak menjadi PSK di mancanegara?

Semoga seri tulisan "TKI terjerat jadi PSK" membantu publik lebih jernih membaca akar masalah pekerja seks Indonesia yang 'go international'. Selamat membaca! ( merdeka.com)